Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Tulisan ini sudah lama, namun membacanya tetap saja indah
walaupun berulang, bagi yang tidak mampu
meneteskan air mata
kerinduan, tangisilah diri anda karena tidak
bisa menangis.
Salam,
Nashir
---:::::::-- -
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian
Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal. "Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat
rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal
bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan
harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya.
Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir
seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk
Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa
Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja
Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya
bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh
kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal
mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk
mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beber-apa saat
setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal
mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna
Muhammadarrasululla h." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah
Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab
perintah itu, "Jika engkau dulu membe-baskan demi kepentinganmu, maka aku
akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku." "Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar. "Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal. "Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal. "Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang
sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang
keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan
Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar,
begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah,
Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat,
namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia
sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang
dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan
hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan
Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya,
Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang
membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang
pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika
berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah
Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan
keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu
Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah
saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada
yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa
lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan
walin-ya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang
majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya
menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir
berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan.
Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari
bibirnya yang mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi
tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah
memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin
mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menja-dikan Bilal mendahului
berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah. "Wahai Bilal, aku mendengar
gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu. " Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski
demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci
ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap,
bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak
lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar
bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di
Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar
meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat.
Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya. Semua sahabat
Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka,
tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan
itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa
menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
"Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan,
Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat
dari angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka, lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.
Amin, ya Rabbal A'lamin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar