Memahami Allah
Para ilmuwan laboratoriumnya di
luar diri, modalnya berfikir.
Para pejalan laboratoriumnya di
dalam diri, modalnya berkeyakinan.
Sama - sama mencari kemantapan
rahasia hidup...
Siapakah yang cepat sampai ?
Abad 21 adalah titik klimaks sebuah pencarian
manusia terhadap Tuhannya. Di belahan bumi India para maha guru spiritual
menganggap abad ini adalah ttitk ordinat peredaran simetris ter! baik antara
jagad mikrokosmos dengan makrokosmos sehingga orang akan mudah belajar mengenai
ketuhanan. Di belahan barat para intelektual kebingungan mencari titik
perhentian karir, titik Tuhan, God spot. Para spirilogic mengkotak -
kotakkan IQ, EQ dan SQ kemudian menganggapnya sebagai sebuah temuan besar yang
harus dipatentkan guna sebuah urusan professional alias imperium perut. Tak ketinggalan para
pecinta dunia berusaha meluruskan konsep bisnisnya dengan Spiritual Capital.
Psikolog tak kalah anehnya menyederhanakan puluhan teori usang menjadi sebuah
teori flow, pasrah mengalir sajalah agar mampu mencapai authentic
happiness.
Bagaimana dengan dunia Islam, khususnya di Indonesia ? Tentu tak kalah
unik...
Terkad! ang akhir -akhir ini saya merasa agak geli
ketika melihat buku-buku baru atau hot topic di internet kok semua
bahasan mengenai kebenaran Allah harus dilegalisasi dulu oleh ilmu pengetahuan
moden, entah itu fisika, kimia , biologi, kedokteran dan semacamnya.
Seakan-akan walau memperoleh manfaat sebab dari bertaqarub dengan Allah tetapi
dilain hal nggak ilmiah, maka kita akan tertolak, sesat. Sebuah pertanyaan ke
dalam diri, sejak kapan sih seorang muslim harus menunggu legalisasi logis
formal untuk memperoleh spiritual journey sebuah ayat ? Apakah hanya
karena sebuah alasan modernitas ilmiah maka kita harus mengalahkan keyakinan
akan manfaat sebuah perjalanan ? Padahal sejauh dan secanggih saat ini, kalau
sudah sudah membahas sebuah agama, ilmu pengetahuan hanya bisa berputar -putar
di wilayah hipotesa, tesis, disertasi dan rumusan-rumusan tanpa bisa lebih jauh
masuk menjadikannya sebuah inti perjalanan.
Sebagai contoh seorang Einstein atau Stephen Hawking dan kawan-kawan
seprofesi bisa saja merumuskan hukum melipat waktu, konsep black hole, big
bang ataupun teori kecepatan cahaya dan semua itu memang relatif berbanding
benar dengan ayat Quran. Tetapi tanpa mengurangi rasa hormat, apakah
beliau-beliau ini bisa mengalami, mengaktifkan dan menjalankannya ? Apakah
beliau seorang pejalan atau masih terhenti sebatas pemikir ? Padahal di
kalangan pejalan spiritual muslim yang banyak bertebaran di Malang pinggiran,
Jember, Banyuwangi, dan banyak titik lagi di penjuru Nusantara, hal itu sudah
menjadi realitas perjalanan. Dan tentu saja Rasulullah Muhammad adalah panglima
pelipat waktu, pengajar sejati metode perjalanan kecepatan cahaya ini dengan
pembuktian peristiwa Isra Mi'raj. Dalam hal ini Abubakar yang terkenal cerdas
dan sidiq langsung mengiyakan tanpa banyak riset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar